Aku adalah seorang karyawan pada sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang kredit barang keperluan rumah tangga. Namun pekerjaanku di lapangan, yaitu sebagai seorang kolektor (Collector). Jadi kegiatanku sehari-hari adalah menarik uang tagihan dari pelanggan yang mengambil barang secara kredit dari perusahaanku. Dalam pekerjaanku, sekali dalam sebulan, aku pasti akan bekerja di luar kota.
Pengalaman yang ingin ku ceritakan ini adalah peristiwa yang terjadi saat aku harus melakukan penarikan di luar kota. Waktu itu, aku berangkat menggunakan sepeda motor. Karena pertimbangan kemacetan, aku memilih untuk memilih jalan alternatif, yaitu jalan menuju luar kota yang melewati perkampungan. Jarak yang harus ku tempuh memang lebih jauh, tetapi waktu yang ku tempuh untuk mencapai tujuan relatif lebih cepat, karena jalan alternatif ini masih dalam kondisi baik dan jauh dari kemacetan.
Warung Remang-Remang Di tengah perjalanan, tiba-tiba langit menjadi gelap. Aku sadar bahwa aku tidak membawa jas hujan, sehingga ku pacu motorku lebih cepat berharap tiba di tujuan sebelum hujan turun. Ternyata tanpa disangka, hujan justru menghadangku di depan perjalanan. Mau tidak mau aku harus mencari tempat untuk berteduh. Sialnya aku terjebak hujan justru di daerah hutan dan persawahan. Ku pikir tidak kan ada tempat berteduh di tempat seperti ini, sehingga ku pacu motorku lebih cepat untuk bisa mencapai daerah pemukiman warga berada tak begitu jauh di depan.
Dalam cepatnya aku memacu motorku, tiba-tiba melihat sebuah rumah tua dengan warung minum di depannya. Aku langsung menghentikan motorku dan memutar balik menuju warung itu. Setibanya di warung itu, aku langsung melompat masuk ke warung dan meninggalkan motorku di depan warung. Dengan nada bicara sesopan mungkin aku minta izin untuk berteduh kepada pemilik warung yang ternyata, seorang gadis cantik yang masih berusia belasan tahun. Wanita itu dengan sopan mempersilahkanku untuk duduk berteduh di warungnya.
Warung minum sederhana yang saat itu kebetulan sepi, memberikan kesempatan kepadaku untuk sedikit bercakap-cakap dengan pemilik warung itu. Dari percakapan itu ku ketahui bahwa namanya lela, dia bukan pemilik warung, tetapi anak dari warung yang ternyata hari itu kebetulan sedang pergi ke pasar untuk membeli barang dagangan yang sudah habis. Lela panggilan singkatnya, dia berhenti sekolah saat kelas I SMA, karena Bapaknya yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal dunia. Jadi sekarang pekerjaannya adalah membantu ibunya menjaga warung minum kecil tersebut.
Kalau kuperhatikan, gadis ini sangat cantik alami, rambut panjang terikat di belakang, bibirnya tipis, bulu matanya lentik, kulitnya putih, tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun proporsional dengan ukuran dada dan pingulnya. Hanya saja permasalahannya, ia kurang pandai dalam berdandan dan perawatan kulit. Penampilannya yang cukup sederhana, dan kecantikannya yang alami, sebenarnya cukup menggodaku, terutama menggoda pikiran nakalku.
Dalam percakapan yang terjadi di tengah derasnya hujan itu, beberapa kali ku coba menggodanya.
“Boleh saya minta Susu?” Tanyaku.
“Susunya habis, Mas! kalau mau teh saja…” Jawabnya
“Saya lihat masih ada kok!” Godaku sambil melirik ke buah dada yang menonjok di dadanya.
Berteduh Di Warung Dia hanya tersenyum dan mengatakan “ah!” dengan wajah malu-malu. Jawabannya itu, bagiku terdengar cukup seksi dan menggodaku untuk terus mengajaknya berbincang.
“nggak perlu pakai gula lagi deh!”
“Ah, Mas ini! ada-ada saja! Lela jadi malu nih diliatin begitu.”
“melihat juga belum, kok udah malu-malu sih?”
“Jangan gitu ah, Mas! ini buat anak Lela nanti kalau udah punya anak…”
“anak Lela bolehlah minum susunya, tapi kalau Mas kalengnya aja deh! nggak apa-apa!”
“ih..! nggak boleh, Mas! ntar kalengnya pecah!”
Begitulah! suasana perbincanganku dengan Lela semakit hanya di tengah dinginnya hujan yang cukup lebat.
Akhirnya ku coba untuk meminta buatkan secangkir teh hangat, agar pembicaraanku bisa terus berlanjut, mumpung masih hujan, dan mumpung warung sepi. Lela membuatkanku secangkir teh hangat dan menyuguhkannya di depanku. Karena alasan hujan yang sekain lebat, aku minta izin untuk dudk di bagian dalam warung.
Lela tanpa berpikir macam-macam mengizinkanku untuk duduk di dalam warung tepat di dekatnya.
Dengan pikiran yang sebenarnya sudah cukup ngeres, aku terus mencoba menggodanya, dengan kata-kata dan pertanyaan yang semuanya menjurus pada hal-hal yang merangsang.
“kalau boleh tahu, ukuran BH Lela berapa ya?”
“ih, Mas ini.! ngapain tanya begitu?”
“Yaa nggak apa-apa sih! biar Mas bisa membelikan BH buat Lela!”
“Hahaha…. nggak usah, Mas! Lela nggak pakai BH…”
“Serius?”
“Hahaha…..”
Perbincanganku dan Lela semakin hangat, kekakuan antara kami semakin hilang, suasana semakin mencair, karena Lela terus saja punya jawaban yang bisa membuatku tidak bosan duduk menunggu hujan reda. Sikap Lela yang terus merespon membuatku semakin berani untuk mengarahkan pada pembicaraan yang lebih merangsang.
“Lela pernah lihat ini, nggak?” tanyaku sambil memberi isyarat mata untuk melihat ke bagian bawah tubuhku.
Tepatnya bagian yang tersembunyi di dalam celanaku yang waktu itu mengembul karena tegang karena arah pembicaraan yang sangat merangsang.
“Apa’an?” tanya Lela, dan ketika mengerti apa yang ku maksud, ia terus berkata. ” iih, nggak mau’ah! ngeri… takut…!”
“Takut kenapa?” tanyaku.
“Abis gundul sih…! Hehehe….” Jawab Lela sambil tertawa.
Aku tahu pasti, Lela saat ini juga pasti sedang terangsang, hanya saja karena dia perempuan, tidak ada bagian tubuh yang menegang seperti pada laki-laki. Dengan jawaban Lela seperti itu, lalu ku katakan padanya:
“Mas tahu kok, CD Lela pasti sudah basah, ya…”
“Ah, Mas ini sembarangan aja kalau ngomong…! Tapi Mas kok tahu, ya?” Jawab Lela sambil menatapku dan memperbaiki posisi duduknya dengan kaki menyilang.
“Lela pasti juga terangsang kan?” ku pegang pergelangan tangan Lela, ku tarik dan ku coba untuk menyentuhkannya ke penisku yang tersebunyi di balik celana panjangku.
Lela sedikit berontak karena terkejut atas keberanianku memegang tangannya.
“Mas!”
“Lela nggak usah malu-malu…! Kalau belum kawin, Lela nggak akan perah lagi dapat kesempatan megang punya laki-laki…”
Ku paksa tangannya untuk menyentuh baang penisku yang sangat tegang. Karena tanganku lebih kuat, Lela akhirnya mengalah, dibiarkannya tanganku menarik tangannya untuk memegang batang penisku. Beberapa saat kemudian, Lela kembali menarik tangannya dari menyentuh batang penisku yang masih tertutup celana.
“Udah!” katanya sambil menarik tangannya.
Tapi tangan Lela kembali ku tarik dan ku paksa kembali untuk menyentuh batang penisku. Lela menatapku, lalu berkata:
“Mas! berpikir yang macam-macam! Maunya Mas, apa?”
“Mas pingin Lela memegang punya Mas!”
“Oke! tapi jangan berpikir lebih dari itu…!!”
“Ya… baiklah!”
Lela akhirnya memegang batang penisku, dan tanpa pikir panjang, ku buka celanaku dan ku minta Lela untuk menggenggam penisku. Lela memalingkan wajahnya lalu berkata:
“Mas! Kenapa dikeluarkan?”
“Kalau nggak begini, Lela nggak akan bisa memegang…..” Kembali ku raih tangan Lela lalu ku minta ia menggenggam batang penisku.
Lela menurut saja keinginanku, namun wajahnya menatap ke arah lain. Ku gerakkan tangannya yang telah menggengam tangan naik turun, Lela hanya diam tanpa kata. Dapat ku rasakan, Lela menikmati setiap gesekan batang penisku yang tegang di telapak tangannya yang dingin.
Perlahan ku lepaskan genggaman tanganku di pergelangan Lela dan ku biarkan dia melakukannya sendiri.
Lela terus mengocok penisku dengan genggaman tangannya yang mencengkram erat. Lalu perlahan ku sentuh dan ku elus pahanya yang masih tertutup rok panjang selutut. Lela membiarkan saja tanganku singgah di pahanya. Keadaan ini ku manfaatkan dengan menarik roknya dan memasukkan tanganku untuk menyentuh selangkangannya.
Merasakan tanganku masuk ke daerah sensitifnya, Lela merapatkan pahanya. Namun aku tetap memaksakan untuk menyentuh belahan vaginanya. Memang benar, CD Lela memang sudah sangat basah. Itu artinya Lela juga sudah sangat terangsang. Aku terus melesakkkan jariku di selangkangannya.
“Lela..! Jangan ditolak, jika Lela merasa nikmat….”
“Lela hanya tidak ingin keterusan, Mas!”
“Ya! Mas juga mengerti…. Kita nikmati saja, mumpung masih ada kesempatan…!” Setelah aku mengatakan hal itu, Lela meraih tanganku dan menarikku ke dalam rumahnya. di ruangan itu, Lela langsung menanggalkan seluruh pakaiannnya.
Aku terpaku melihat apa yang terjadi di hadapanku, seakan tak percaya dengan apa yang ku lihat. Seorang gadis yang baru ke kenal beberapa jam yang lalu kini telah berdiri di hadapanku dalam keadaan siap dinikmati.
Lela menarik tanganku sambil menjatuhkan tubuhnya di atas kasur tipis di yang terdapat di dalam rumah kecil tersebut. Aku pun ikut terjatuh di atas tubuhnya. Dalam posisi seperti itu, Lela membisikkan sepatah kata di telingaku:
“Ini tidak pernah ku lakukan sebelumnya… Memberikan kenikmatan hanya untuk menikmati…”
Mendengar perkataannya yang penuh gairah dan makna itu, aku tidak buang-buang waktu. Langsung saja ku lucuti seluruh pakaianku, dan langsung ku tancapkan kepala penisku ke belahan vagina Lela yang telah mengangkang menanti kenikmatan birahi yang telah memuncak.
Di antara lebatnya hujan yang tak henti-hentinya mengguyur jalanan, aku dan Lela larut dalam kenikmatan persenggamaan terlarang. penisku telah amblas dalam lobang vagina gadis yang masih berusia belasan. Aku tak perduli lagi dengan apapun yang terjadi diluar sana, yang ada di benakku hanya menikmati gesekan demi gesekan penisku di dinding vagina Lela yang basah. Menghujam, menghentak, menusuk, demi memburu puncak kepuasan sengama.
Suara becek terdengar di dalam liang vagian Lela, seiring dengan suara desahan di bibir Lela yang membisik di telingaku, menambah panas suasana birahi di diriku. Aku semakin bersemangat untuk menghujam penisku hingga menyentuh bibir rahim Lela. Batang penisku terasa berdenyut-denyut menandakan bahwa aku akan mencapai puncak kepuasan dalam percintaan terlarang dengan Lela.
Beberapa saat sebelum aku mencapai puncak, ku bisikkan pada Lela:
“Mas akan segera keluar…. Heh…”
“Di dalam saja, Mas!”
Tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkannya, puncak kenikmatan hubungan seks antara aku dan Lela, ku selesaikan dengan menumpahkan sperma dalam lobang vagian Lela. Aku terhempas kelelahan mengejar orgasme di atas tubuh gadis kecil anak pemilik warung. Batang penisku tetap ku biarkan amblas dalam vagina Lela. Setelah permainan berakhir, aku baru menyadari apa akibat yang akan terjadi jika sperma yang ku tanam akan membuahi sel telur di rahim Lela.
“Kenapa kamu membiarkan saya mengeluarkan di dalam?”
“Tenang saja! Lela sudah biasa kok!” begitu jawaban Lela yang sangat mengejutkanku.
“Maksud Lela? sudah biasa hamil…!?”
“Bukan!”
“Lalu…!?
“Lela sudah biasa melayani birahi laki-laki seperti Mas!”
“Jadi Lela….???”
“Ya! Lela memang bukan perawan seperti yang mungkin Mas kira…! Lela bekerja memang sebagai penjaga warung, tetapi itu tidak cukup untuk kami bertahan hidup.
Ibu mengizinkan Lela untuk melakukannya, asal dengan laki-laki yang menurut Lela bersih dari penyakit kelamin…”
Mendengar pengakuan itu, aku terperanjat dan bangkit dari tubuh Lela. Aku tidak menyangka gadis seusia Lela telah menjual keperawanannya hanya demi bertahan hidup. Tapi di sisi lain, aku juga berpikir, masalahnya bukan hanya urusan bertahan hidup, tetapi karena banyaknya lelaki yang memandang wanita hanya sebagai pemuas nafsu. Salah satunya aku, yang dengan susah payah memancing pembicaraan yang merangsang, hanya demi mendapatkan lobang kecil di selangkangan Lela.
“Kenapa Lela tidak minta bayaran dari, Mas!”
“Hehe…. untuk pertama Gratis kok, Mas! Biar Mas merasa dulu, gimana rasanya pelayanan Lela…” Lela bangkit dari tempat berbaringnya, lalu mengenakan kembali seluruh pakaiannya.
Aku terdiam menatap Lela yang sedang mengenakan kembali pakaiannya. Ku tarik kembali tubuh Lela sehingga ia jatuh kembali di atas kasur tipis tempat kami becinta, lalu ku katakan:
“Lela…! hujan masih lebat… Mas masih ingin bersama Lela… Berapa yang harus Mas keluarkan untuk yang kedua…???”
“Kalau Mas bener mau lagi, Mas tinggal aja di sini malam ini menemani Lela…. Lela akan melayani Mas, berapa kalipun Mas sanggup…. Gratis!”-